Swaga on Vacation – Merasakan air nan segar dan hikayat

Tampak candi yang tidak lengkap bagian-bagiannya
Tampak candi yang tidak lengkap bagian-bagiannya
Perjalanan menuju Candi Lumbung
Perjalanan menuju Candi Lumbung

Air terjun Kedung Kayang

Ada kejadian menarik. Waktu itu, salah seorang dari peserta SOV marah-marah. Bukannya apa-apa, tapi karena ia merasa khawatir dengan ulah seorang yang semena-mena mau menyebrang jalan. Orang yang memakai motor tanpa lampu riting tersebut ingin belok kanan menyebrang jalan untuk mengantar gergaji mesin yang ditaruh dalam kronjot. Dalam bahasa Indonesia kronjot sejenis anyaman yang berfungsi untuk menaruh barang atau dagangan yang ditaruh di motor. Biasanya kronjot dibuat dua di sisi kanan dan kiri, dan tentunya lebih besar dari badan motor itu. Sewaktu kita melewati jalan tersebut, tiba-tiba saja kami terhenti dengan kejadian tersebut. Salah satu anggota Swaga memarahi pengendara karena sudah tidak riting, tidak memakai helm, membawa gergaji mesin dalam kronjot tanpa pengaman yang sebenarnya membahayakan jika jatuh dan mengenai pengendara lain. Tidak terlalu lama kejadian tersebut karena memang sudah di tunggu oleh rekan kami di Candi Asu, Magelang, Jawa Tengah. Perjalanan yang kami tempuh dua jam lalu dari pukul 07.00 WIB membuat kami semakin penasaran dengan Candi Asu tersebut. Apakah memang bentuknya mirip dengan asu atau anjing, atau memang bagaimana?

Kegiatan rutin ini memang selalu kami laksanakan setiap tahun. Tepat 7 tahun yang lalu, segerombolan orang yang ingin belajar budaya Jawa khususnya Yogyakarta ini juga mengunjungi situs yang bernama Candi Asu, dan beberapa diantara mereka juga hadir disini. Panas terik nan elok dengan pemandangan petak-petak sawah membuka pertanyaan ‘mengapa’ orang zaman dulu membuat candi di lereng dekat sungai yang dinamakan Candi Asu Sengi ini. Sengi, karena daerahnya di desa Sengi. Asu? Konon, candi tersebut ditemukan karena banyak anjing yang mengitari atau berada di candi yang saat ini sudah tidak terdapat atapnya dan tinggal fondasi saja sekitar 2,5 meter. Sebenarnya ada beberapa versi, ini menjadi mitos masyarakat lokal untuk menjaga nilai-nilai leluhur mereka. Candi tersebut memiliki sumur kurang lebih sedalam 5 meter. Dalam diskusi kami, beberapa teman merasa aneh dengan sumur tersebut sebab daerah tersebut tidak jauh dengan sumber mata air, lantas mengapa dibuat sumur jika masyarakat dapat mengambil air dari sungai didekatnya. Atau mungkin hanya masyarakat saja yang mengada-ada tentang sumur tersebut. Ini menjadi persoalan yang harus dibahas oleh pakarnya, dan bagi kami sebagai apresiator setidaknya mempertanyakan apa yang umum dipertanyakan.

Tak jauh dari candi tersebut, sebenarnya terdapat candi lain yaitu Candi Pendem. Berbeda dengan yang berada di Ngawi, bebatuan candi di sini masih dapat disusun dengan baik di banding dengan Candi Pendem Ngawi yang sudah diamankan di cagar budaya. Cukup berjalan tidak lebih dari 500 m, kami sempat kesusahan untuk menemukannya. Susah untuk dilihat dari jauh karena selain di tengah persawahan, juga posisinya yang terpendam di bawah tanah mirip seperti Candi Sambisari Yogyakarta. Aktivitas pertanian di lereng gunung merapi membuat indah candi tersebut ketika kita bisa menatap tumbuh-tumbuhan hijau yang mengelilingi wilayah candi. Sampai pada candi selanjutnya pun kami masih menemukan keelokan lainnya. Info yang muncul setelah kami beranjak pada candi selanjutnya yaitu Candi Lumbung tersebut akan dipindah ke tempat awal.

Pemerintah sengaja memindahkan Candi Lumbung untuk menyelamatkan cagar budaya tersebut dari terjangan banjir lahar hujan di Kali Apu. Di lokasi aslinya, candi ini berada di atas tebing dan hanya berjarak kurang dari 1 meter dari Kali Apu. (Tribun, Februari 2015).

Pemindahan yang dilakukan secara bertahap pada september 2011 lalu hanya sekedar untuk menyelamatkan bangunan candi dengan menyewa tanah di Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Tetapi hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa candi tersebut akan kehilangan sejarahnya karena lokasi yang tidak sama dari lokasi sebelumnya yang berjarak lebih kurang 5 km dari keberadaan candi saat ini. Meskipun demikian, kondisi disana begitu bersih dan terawat. Sejak awal kami mengunjungi candi, kami bangga karena kompleks yang bersih ditambah kami tidak perlu mengeluarkan kocek untuk menikmati situs tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan anak muda sekarang, kami juga ingin bersenang-senang di air. Kami mengunjungi air terjun Kedung Kayang yang tidak jauh dari obyek wisata Ketep Pass. Selama bermain, sebenarnya kami dihimbau untuk segera pulang karena mendung telah memadati area kami bermain. Sebenarnya petugas sudah menghimbau untuk was-was, karena jika terjadi hujan yang turun dari atas gunung biasanya akan terjadi longsorang tanah-tanah yang kemudian terbawa arus air hingga mengalir melewati air terjun tersebut. Ditakutkan pengunjung akan terjebak di sekitar air terjun, oleh karenanya kita harus was-was. Walau alam terlihat indah tetapi bisa saja menjadi ancaman bagi orang yang tidak kenal lingkungan. So, inilah SOV kami, tunggu SOV selanjutnya ya.

Referensi:

http://www.tribunnews.com/travel/2015/02/05/rawan-diterjang-banjir-candi-lumbung-di-magelang-sulit-dikembalikan-lokasi-aslinya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.