Workshop Kesenian “Menyadari Peran Sebagai Pemuda Pelaku Budaya”

     Tak dapat memungkiri jika UKM Swagayugama sering menerima tawaran peye (istilah khusus yang merujuk kepada tawaran pentas dari sebuah acara – pernikahan, seminar, dll.) yang disepakati bersama dalam forum pengurus harian. Forum pengurus harian adalah forum organisasi formal yang harus ada di setiap Unit Kegiatan Mahasiswa, dalam hal ini berfungsi sebagai pengelola kegiatan mahasiswa. Terdapat beberapa bidang di UKM Swagayugama seperti: tari, karawitan, kostum, sumber daya mahasiswa, hubungan masyarakat, produksi dan pementasan, riset, dokumentasi, yang keseluruhannya dikemudikan oleh ketua umum yang dipilih dalam musyawarah anggota di akhir tahun. Terkait dengan peye, pengurus sudah menyepakati dan tertuang dalam AD/ART UKM, ini diputuskan bersama. Sehingga peye dapat dikatakan sebagai agenda wajib.

     Beberapa waktu lalu, UKM Swagayugama menampilkan satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta bernama Golek Ayun-Ayun yang ditarikan dalam acara fakultas di Universitas Gadjah Mada. Tiga orang penari bersiap ditemani official yang akan berususan dengan panitia penyelenggara, mereka masuk ke dalam ruang ganti. Para penari berdandan seperti dengan ketentuan yang diketahui, mereka percaya bahwa pakem busana adalah yang mereka pakai saat itu. Di antara anggota UKM Swagayugama saat itu tidak ada yang menyanggah karena memang tidak ada yang perlu disanggah. Tiba waktu acara, mereka naik panggung  dilihat oleh mahasiswa-mahasiswa baru angkatan 2016 yang masih dalam rangkaian PPSMB (Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru) menggunakan almamater kebanggan UGM. Sepuluh menit berlalu, mereka turun dan segera berganti pakaian menggunakan pakaian santai, mereka pulang dengan mengantongi bayaran.

     Ini dirasa cukup sering dalam setiap tahunnya hingga kewalahan. Seakan sudah menjadi hal yang lumrah melakukan beragam pementasan, sebenarnya ada hal yang bergeser ketika melihat tari klasik sebagai identias yang sarat dengan nilai tradisi diguanakan sebagai entertainment. Apa yang dinamakan tradisi –biasanya berkaitan dengan istilah ‘Adi Luhung’- berasal dari masa lampau yang jika kita masih merasakannya sekarang pasti ada yang menjaga. Berbagai macam tradisi di Yogyakarta lebih cenderung merujuk kepada budaya kerajaan Mataram Islam, ketika itu Yogyakarta memilih untuk melestarikan daripada mengembangkan. Hal ini ditengarai dengan hadirnya seni tari dan karawitan yang berkembang di kerajaan Mataram Islam. Melalui falsafah Hamemayu Hayuning  Bawono, semangat melestarikan dan menyelaraskan tata nilai kehidupan menjadi dominasi filosofis dalam pembangunan berkelanjutan. Kemudian falsafah itu digunakan oleh masyarakat Yogyakarta dalam kaitan penciptaan tari klasik dan karawitan gaya Yogyakarta pada periode setelah perjanjian Giyanti.

     Tahta yang sekarang dipegang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan sedikit banyak gambaran periode kekuasaan yang sangat lama, tentunya semangat menciptakan karya seni baru muncul dari raja yang pernah berkuasa. Raden Mas Sujana mengawali pementasan wayang wong (wayang orang) secara massal dengan mengambil lakon “Gondowerdoyo”. Pertunjukan tari klasik atau disebut dengan Joged Mataraman juga difungsikan sebagai hiburan bagi masyarakat yang jenuh oleh peperangan selama 9 tahun (Suryobrongto, 1981: 30). Memasuki pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II lahir Bedhaya Semang yang disebut sangat sakral yang diikuti dengan penciptaan tarian bermotif kepahlawanan. Namun sampai pada periode Sultan Hamengku Buwono III, pembatasan ruang gerak kesenian sultan sangat terbatas oleh Belanda sehingga tidak terjadi perkembangan dari beragam tarian yang telah terbentuk.

     Banyak raja menciptakan tari dengan mengambil aspek politik jamannya dengan menggunakan atribut bernada sama misalnya menggunakan pistol atau jemparing (panah). Hanya saja karena tindak represif dari pemerintah Belanda yang cukup merugikan sampai pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI, banyak kreasi Joged Mataram yang mandek. Tercatat bahwa puncak kejayaan Joged Mataram ada di masa Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939) ada 11 kali pementasan wayang wong sejak tahun 1923 hingga Agustus 1939, pementasan terakhir dengan lakon Pragolomurti (Suryobrongto, 1981: 46-47). Inovasi yang kemudian berkembang di sini salah satunya adalah penggunaan alat musik tiup diatonik Barat dengan iringan gamelan pengiring laras pelog.

     Pergantian kekuasaan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikatakan oleh Budi (1996) sebagai periode baru pengembangan Joged Mataram. Hal ini dimulai sejak Rama Sas (K.R.T. Sasmintadipura) bekerjasama dengan Raden Mas Dorodjatun merespon Joged Mataram menjadi sebuah cultural resource. Selama kolonialisasi terjadi, Joged Mataram hanya difokuskan untuk dipelajari oleh orang-orang di dalam Kraton. Pada tahun 1950, G.B.P.H. Pujokusuma (saudara laki-laki Rama Sas) mendapat mandat dari Sultan untuk menggerakkan aktivitas tari ke luar tembok Kraton dengan medirikan “Bebadan Among Beksa Yogyakarta” yang saat ini dikenal sebagai “Yayasan Siswa Among Beksa”. Dengan berkembangnya kelompok-kelompok tari binaan guru dari keluarga Kraton, kesempatan untuk mempertunjukkan kepada turis menjadi fungsi baru dalam perkembangan Joged Mataram, pada tahun 1977 panggung pertunjukan tari difokuskan untuk disajikan kepada turis (Hadi, 1988: 96). Sejak saat itulah pergeseran fungsi tari menjadi lebih luas karena ditampilkannya berbagai jenis tari di lokasi yang berbeda-beda di berbagai kota di Indonesia sampai ke wilayah Asia juga Eropa. Dengan konsep “Adi Luhung” yang dibawa oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, proses pembangunan ini mengarah kepada entertainment dalam memenuhi permintahan di situasi yang global.

     Menanggapi perubahan tersebut, UKM Swagayugama di era global ini sangat memenuhi kriteria sebagai pelaku budaya. Peran memanggul cultural heritage Yogyakarta bukan hal mudah. Secara kontinu, UKM Swagayugama mengadakan pelatihan tari klasik dan karawitan gaya Yogyakarta, namun perihal sosialisasi juga menjadi bagian yang tidak kalah menarik. Pada tanggal 29 Oktober 2016 lalu, UKM Swagayugama dengan antusias mengadakan workshop kesenian bertema “Menyadari Peran Sebagai Pemuda Pelaku Budaya” untuk siswa SMA/K se DIY bertempat diruang kesenian Gelanggang Mahasiswa. Menggandeng para pengajar dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, acara berlangsung dalam penyampaian materi dalam dua sesi. Pertama adalah materi yang disampaikan oleh Dr. Bambang Pudjasworo, S.ST., M.Hum., terkait dengan peran pemuda dalam konservasi budaya yang mengarah kepada diplomasi budaya ke dunia internasional. Peserta diajak menyelami berbagai referensi kreatif dalam model baru pelestarian budaya, sebab posisi mereka sangat penting. Setelah wacana umum digambarkan, peserta diarahkan ke dalam dua kelas, kelas pertama khusus bidang tari yang diisi oleh Theofillus Suwantoro, S.Pd. dan Dra. Veronica Retnaningsih, sedangkan kelas kedua adalah karawitan yang diisi oleh Drs. Trustho, M.Hum. dan Muclhas Hidayat, S.Sn. Hampir dua jam materi disampaikan, melakukan praktek dan mengadakan sesi pertanyaan. UKM Swagayugama merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang juga berisi pemuda, kami melakukannya sekarang, lantas kapan kalian akan melakukannya?

Cek kabar workshop di sini! 

Referensi:

Astuti, Budi. 1996. K.R.T.Sasmintadipura Koreografer Tari Jawa dalam menghadapi berbagai tantangan zaman (Sebuah Biografi), Tesis S-2, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suryobrongto, G.B.P.H. 1981. Sejarah Tari Klasik Gaya Yogyakarta dalam Fred Wibowo (Ed.), “Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta”. Yogyakarta: Dewan Kesenian Prop, DIY.

___________. 1981. Wayang Wong Gagrag Mataram dalam Fred Wibowo (Ed.), “Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta”. Yogyakarta: Dewan Kesenian Prop, DIY.

 

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.