Nilai-Nilai dalam Tari Srimpi Pandhelori

Oleh : Clara Michel Prakoso

Tari Srimpri Pandhelori merupakan salah satu tari klasik Keraton Yogyakarta. Tari ini diciptakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877). Srimpi Pandhelori berasal dari serat Menak Kustub, karya Rg. Yasadipura (Nuryani, Sayuti, & Siswoyo, 2020). Tari Srimpri Pandhelori merupakan tarian yang mengisahkan dua sisi manusia yaitu sisi baik dan sisi buruk (Tyas & Kuswarsantyo, 2018).

Berdasarkan studi yang dilakukan olehNuryani, Sayuti, & Siswoyo (2020), tata busana dan riasan penari Srimpi Pandhelori tidak hanya sebagai unsur estetis. Jika ditelaah lebih dalam, tatas busana dan rias mengandung beberapa makna dan nilai-nilai. Busana yang dikenakan terdiri atas tiga bagian yaitu busana bagian kepala, busana bagian torso, dan busana bagian kaki. Namun, pada penari wanita hanya busana bagian kepala dan busana bagian torso.

Pada busana bagian kepala, mentul, hiasan sanggul menyerupai setangkai bunga dipasang sejumlah lima buah. Hal ini melambangkan lima nafsu manusia yaitu kasih saying, kenikmatan, keinginan, kekuasaan, dan kesucian. Dimana manusia harus bisa mengendalikan kelima nafsu agar tercapainya tujuan hidup. Kemudian terdapat cundhuk mentul yang berbentuk ceplik, melambangkan hidup. Ceplik menyimbolkan matahari dan sinarnya. Dimana matahari digambarkan sebagai pemberi hidup dengan memberikan kenhangatan (manfaat) bagi semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Lalu ada jungkat atau disebut dengan pethat yang berbentuk gunungan merupakan lambang keagungan Tuhan dan terciptanya kebahagiaan (Condronagoro, 2010, hlm. 121).

Selanjutnya terdapat jamang yang menyimbolkan wibawa sebagai puteri raja. Kokar bulu menunjukan integritas sosial raja dan keluarga di salam pergaulan istana serta untuk menghormati hubungan antar dua kerajaan. Sumping dengan jenis ronsumping (ron: daun; sumping menyerupai daun) yang dikenakan oleh penari. Sumping yang dihiasi dengan kertep warna emas melambangkan keagungan. Sumping merupakan singkatan dari sumpel kuping (menutup telinga dengan sesuatu) menggambarkan bahwa kita harus berhati-hati dalam memilah-milah informasi yang kita terima. Kemudian sengkang melambangkan meningkatnya pengetahuan manusia melalui cahaya kehidupan serta harapan terciptanya sesuatu yang abadi.

Penari mengenakan jarik (kain) dengan motif parang gurdha. Menurut menggambarkan Sedangkan motif gurda melambangakan garuda yang teguh timbul tanpa maguru, yaitu sakti tanpa berguru pada siapapun. Motif parang berbentuk seperti pedang yang digunakan oleh kesatria dan juga menyeruapai ombak Laut Selatan. Ombak lautan sebagai pusat tenaga alam menggambarkan kedudukan raja. Sedangakan parang yang digambar miring menyimbolkan kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Pada busana bagian torso, slepe yang merupakan sabuk bagian luar yang dikenakan bersama dengan bathokannya setelah sampur, memiliki arti untuk mengendalikan nafsu birahi agar kesucian wanita tidak hilang. Makna simbolik yang terkandung adalah senantiasa mendekatkan diri dengan Sang Pencipta dengan memiliki iman yang kuat. Kemudian kelat bahu yang dikenakan oleh penari adalah Nagamangsa (naga memangsa sesuatu) dimana naga melambangkan kemakmuran. Selain itu, kelat bahu naga menggambarkan bersatunya pola rasa dengan pola pikir. Nagamangsa bermakna harapan mendaptkan rejeki dan kekuatan untuk menjalani hidup. Kalung susun terdiri atas tiga susun, yang berarti tiga tingkatan kehidupan manusia (lahir, kawin, mati) dan berbentuk bulan muda (tanggalan). Secara keseluruhan kalung susun adalah simbol arti hidup (Kawendrasusanta, 1981, hlm. 166). Gelang yang dikenakan adalah gelang kana dimaan kana mengandung makna menyadari fungsi diri sebagai suh (pengikat).

Selain busana, rias wajah Srimpi Pandhelori juga mengandung makna sendiri. Teknik riasyang digunakan adalah jahitan diamana mata berupa dua garis menuju pelipis (Widayanti, 2011, hlm. 247). Jahitan menyimbolkan penglihatan yang fokus agar dapat membedakan yang baik dan buruk untuk membentuk pegangan kuat dalam hidup.

Dalam Srimpi Pandhelori, terdapat dua ragam gerak, yaitu gerak maknawi dimana ragam gerak mengandung sebuah makna yang disampaikan melalui tanda dan simbol, serta gerak murni yang lebih menunjukan nilai estetis (Tyas & Kuswarsantyo, 2018). Ragam gerak maknawi dalam tari Srimpi Pandhelori adalah sembahan silo panggung, kengser tasikan, ulap-ulap, sudukan, aben sikut, ecen, dan sembahan jengkeng. (Tyas & Kuswarsantyo, 2018). Setiap gerakan tersebut mengandung maknanya masing-masing.

Sembahan silo panggung memiliki dua makan. Pertama, sebagai penghormatan kepada raja/penonton. Hal ini mengandung makna bahwa sebagai manusai harus saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kedua, bermakna sebagai permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam gerak sembahan. Gerakan ini menunjukan sikap manusia yang senantiasa memohon dan bersyukur atas berkah yang telah dikaruniakan Tuhan.

Kemudian kengser tasikan yang merupakan gerakan berdadan. Dalam hal ini, berdandan menggambarkan tindakan memperbaiki diri sendiri yaitu dengan berefleksi dan mengubah perilaku dan kebiasaan negatif, serta mengembangkan yang positif. Selanjutnya ragam gerak yang disimbolkan dengan pengiantain yaitu ulap-ulap. Gerakan ini bermakna kewaspadaan dalam mengambil keputusan yaitu dengan berpikir sebelum bertindak serta mempertimbangkan resikonya. Lalu, gerakan peperangan yatiu sudukan, menyimbolkan kemarahan karena adanya konflik batin antara sisi baik dan buruk dalam diri manusia.

Terdapat pula ragam gerak yang menunjukan sisi buruk manusia. Ecen menggambarkan tindakan menghina atau mengejek, yaitu merendahkan orang lain. Kemudian ragam gerak Aben sikut menyimbolkan sikap menantang. Sikap ini merupakan kondisi manusia ketika tersulut emosi akan menimbulkan amarah.

Selanjutnya ragam gerak nglayang yang disimbolkan dengan posisi hati yang dekat dengan tanah. Hal ini menunjukan bahwa manusia harus memiliki sikap rendah hati. Terakhir terdapat ragam gerak sembahan jengkeng. Gerakan ini menunjukan penghormatan dan permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tyas & Kuswarsantyo (2018), nilai-nilai yang dibawakan oleh tari Srimpi Pandhelori dapat dibagi menjadi 6 nilai yaitu: pendidikan, religi, sopan santun, tanggung jawab, etika, dan kepribadian. Pertama, nilai pendidikan adalah nilai yang bertujuan untuk membantu manusia untuk memahami, menyadari, menerapkan nilai-nilai dalam Srimpi Pandhelori. Kedua, nilai religi, yaitu nilai yang menujukan kelemahan diri manusia dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini tergambar dalam ragam gerak sembahan silo panggung dan sembahan jengkeng.

Selanjutnya adalah nilai sopan santun yang juga digambarkan oleh gerak sembahan silo panggung. Dalam nilai ini, sembahan silo panggung menyimbolkan rasa hormat kepada sesama. Keempat adalah nilai tanggung jawab yang diinterpretasikan melalui ragam gerak kengser tasikan yang menggambarkan kegiatan berbenah diri. Kelima yaitu nilai etika yang dicerminkan dalam ragam berak ecen, aben sikut, dan sudukan. Ketiga ragam gerak tersebut menggambarkan pilihan manusia untuk menjadi prbadi yang baik atau buruk bagi diri sendiri dan seasama. Nilai yang terakhir adalah nilai kepribadian yang digambarkan melalui ragam gerak nglayang dimana posisi hati dekat dengan tanah menunjukan pribadi yang sabar dan tawakal.

 

Sumber :

Nuryani, W., Sayuti, S. A., & Siswoyo, D. 2020. Nilai-nilai pendidikan tata busana dan rias Srimpi Pandhelori dalam perspektif hermeneutic. Jurnal Panggung, 30(2), 307-324.

Tyas, G. P. & Kuswarsantyo. (2018). Nilai pendidikan karakter dalam ragam gerak tari Srimpi Pandelori. MUDRA Jurnal Seni Budaya, 33(2), 182-190. doi:dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i2.329

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.