Oleh : Clara Michel Prakoso
Beksan Lawung Ageng merupakan salah satu tarian pusaka milik Kraton Yogyakarta. Beksan Lawung Ageng merupakan bagian dari Beksan Tunajaya yang terbagi atas tiga bagian yaitu Beksan Lawung Alit (alus), Beksan Lawung Ageng (gagah), dan Beksan Sekar Madura (alus dan gagah) (Kuswarsantyo, 2020: 2). Tarian ini merupakan tarian upacara, yang hanya boleh diselenggarakan di waktu-waktu tertentu seperti ulang tahun raja, ulang tahun penobatan, pernikahan putra-putri Sultan, meyambut tamu kehormatan, atau saat-saat yang dianggap istimewa (Tinarsidharta, 2015: 5). Beksan Lawung Ageng merupakan sebuah tarian yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I. Untuk mendukung legimitasi kekuasaan di sebuah negara yang baru berdiri, Sri Sultan Hamengku Buwana I membutuhkan simbol budaya tertentu. Namun ketika penjajah Belanda memasuki wilayah Nusantara, kekuasaan raja tidaklah lagi penuh karena harus melayani kepentingan pihak Belanda (Tinarsidharta, 2015).
Situasi tersebut mendorong Sri Sultan Hamengku Buwana I untuk menciptakan Beksan Lawung Ageng. Tarian ini terinspirasi dari keberanian Pangeran Trunajaya dari Madura dalam berperang melawan VOC. Maka dari itu, dapat dilihat adanya unsur Madura dalam pocapan Beksan Lawung Ageng (Suryobrongto dalam Kuswarsantyo, 2020). Tari ini diciptakan untuk mengalihkan perhatian Belanda yang curiga adanya latihan militer rutin oleh pihak Kraton (Tinarsidharta, 2015).
Menurut studi yang dilakukan oleh Tinarsidharta, (2015), tujuan utama diciptakan tari Beksan Lawung Ageng adalah untuk membentuk jiwa patriotisme, ketiaan, kejujuran, dan bela negara para perajurit. Oleh karena itu, tari Beksan Lawung Ageng juga disebut dengan Beksan Trunajaya karena ditarikan oleh prajurit kesatuan Nyutra dari korps Trunajaya. Karakter keras dan disiplin seorang prajurit yang dibawakan dalam tarian, mencerminkan kondisi batin Pangeran Mangkubumi. Selain itu, tarian ini diciptakan sebagai wadah latihan militer secara terselubung. Hal ini tercermin dalam tarian yang menggunakan senjata lawung sebagai lambang keberanian, kepahlawanan, dan semangat prajurit (Kuswarsantyo, 2020).
Beksan Lawung Ageng terdiri atas 16 orang penari pria. Tari ini memiliki formasi sebagai berikut yaitu, dua penari botoh, dua penari salaotho, empat penari jajar, empat penari lurah, dan empat penari plonoon. Sedangkan naskah pementasan disusun oleh Sultan. Gendhing iringan yang digunakan dalam Beksan Lawung Ageng berirama cepat, dan keras (sora/soran). Gendhing-gendhing yang diciptakan oleh Sultan disebut dengan gendhing “Mataraman” yang memiliki ciri-ciri prasaja (lugu), greget (semangat), antep atau kesungguhan, agung, mungguh, dan tangguh, selaras dengan lingkungannya dan karakter penciptanya (RM. Suyamto, dalam Tinarsidharta, 2015: 16).
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Beksan Lawung Ageng dipentaskan dalam pernikahan kraton dengan status sebgai pengganti/wakil kehadiran Sultan pada upacara tersebut (Tinarsidharta, 2015: 18). Kehadiran raja disimbolkan melalui para penari Lawung yang dipayungi dengan payung kebesaran. Sehingga posisi Beksan Lawung Ageng sangat tinggi dan tidak boleh sembarangan dipentaskan (Soedarsono dalam Kuswarsantyo, 2020). Namun, seiring berjalannya waktu, Beksan Lawung Ageng menjadi tarian yang mulai diajarkan di luar kraton kepada masyarakat.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, terdapat perbedaan makna dalam pementasan tari Beksan Lawung Ageng. Pada awal mula tarian diciptakan, tjuan utamanya ialah untuk membentuk prajurit dengan jiwa patriotisme dalam bentuk tari. Kemudian, tarian ini menjadi representasi Sultan seperti pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Tetapi posisi Beksan Lawung Ageng sebagai personifikasi Sultan tidak lagi berlaku. Hal ini karena saat pementasan tari Beksan Lawung Ageng pada pernikahan GKR Hayu dengan KPH Notonegoro pada tahun 2013, Sri Sultan Hamengku Buwono X hadir pada upacara resepsi pernikahan. Dengan demikian, fungsi Beksan Lawung Ageng berubah menjadi sebuah tontonan. Selain itu, karena tarian Beksan Lawung Ageng yang dipentaskan pada pernikahan putra putri Sultan, fungsi tarian menjadi tari kesuburan.
Dari segi nilai-nilai yang dimiliki, Beksan Lawung Ageng merupakan sebuah wadah pembentukan watak satria tama melaui kedisiplinan berolah fisik, berolah batin yang terangkum dalam empat prinsip sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh yang wajib dimiliki penari (Tinarsidharta, 2015: 5). Dalam ragam geraknya, ditunjukan sifat-sifat heroik, patriotik, dan pola lantai yang luas. Pola lantai yang sering berubah-ubah menyimbolkan perjalanan hidup yang penuh pergolakan. Pada zaman sekarang, Beksan Lawung Ageng dapat menjadi pedoman hidup dalam bersosialisasi karena mengandung nilai-nilai kesatria, keberanian, percaya diri, pantang menyerah, dan ketegaran (Tinarsidharta, 2015: 41).
–
Referensi :
Kuswarsantro, R. K. (2020). Perbandingan Beksan Lawung Ageng dalam pernikahan agung tahun
2013 dengan peringatan 30 tahun bertahta Sri Sultan Hamengku Buwono tahun 2019 di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat: Kajian aspek makna, bentuk, dan fungsi. Juranl Seni Tari, 9(1).
Tinarsidharta, R.M. K. (2015). “Perubahan bentuk dan fungsi Beksan Lawung Ageng dalam
upacara pernikahan Agung Kraton Yogyakarta”. Tesis. Penciptaan dan Pengkajian Seni Minat Studi Pengkajian Tari Nusantara, Institut Seni Indonesia, Surakarta.